BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia pada dasarnya adalah mahluk yang hidup dalam
kelompok dan mempunyai organisme yang terbatas di banding jenis mahluk lain
ciptaan Tuhan. Untuk mengatasi keterbatasan kemampuan organisasinya itu,
menusia mengembangkan sistem-sistem dalam hidupnya melalui kemampuan akalnya
seperti sistem mata pencaharian, sistem perlengkapan hidup dan lain-lain. Dalam
kehidupannya sejak lahir manusia itu telah mengenal dan berhubungan dengan
manusia lainnya. Seandainya manusia itu hidup sendiri, misalnya dalam sebuah
ruangan tertutup tanpa berhubungan dengan manusia lainnya, maka jelas jiwanya
akan terganggu.
Naluri manusia untuk selalu hidup dan berhubungan dengan
orang lain disebut “gregariousness” dan oleh karena itu manusia disebut mahluk
sosial. Dengan adanya naluri ini, manusia mengembangkan pengetahuannya untuk
mengatasi kehidupannya dan memberi makna kepada kehidupannya, sehingga timbul
apa yang kita kenal sebagai kebudayaan yaitu sistem terintegrasi dari perilaku
manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian manusia
dikenal sebagai mahluk yang berbudaya karena berfungsi sebagai pembentuk
kebudayaan, sekaligus apat berperan karena didorong oleh hasrat atau keinginan
yang ada dalam diri manusia yaitu :
1.
Menyatu
dengan manusia lain yang berbeda disekelilingnya,
2.
Menyatu
dengan suasana dalam sekelilingnya.
Manusia itu pada hakekatnya adalah mahluk sosial, tidak
dapat hidup menyendiri. Ia merupakan “Soon Politikon”, manusia itu merupakan
mahluk yang hidup bergaul, berinteraksi. Perkembangan dari kondisi ini
menimbulkan kesatuan-kesatuan manusia, kelompok-kelompok sosial yang berupa keluarga, dan masyarakat. Maka terjadilah suatu sistem yang dikenal sebagai
sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang mengatur kehidupan mereka,
memenuhi kebutuhan hidupnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan konsep individu dan masyarakat?
2.
Apa
saja pengertian masyarakat dan kebudayaan?
3.
Apa
yang dimaksud dengan pelapisan masyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Individu Dan Masyarakat
1. Konsep Individu
Individu berasal dari kata latin “individuum” artinya yang tidak terbagi,
maka kata individu merupakan sebutan yang dapat digunakan untuk menyatakan
suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti
manusia sebagai suatu keseluruhan yang tak dapat dibagi, melainkan sebagai
kesatuan yang terbatas yaitu sebagai manusia perseorangan. Istilah individu
dalam kaitannya dengan pembicaraan mengenai keluarga dan masyarakat manusia,
dapat pula diartikan sebagai manusia.
Dalam pandangan psikologi sosial,
manusia itu disebut individu bila pola tingkah lakunya bersifat spesifik
dirinya dan bukan lagi mengikuti pola tingkah laku umum. Ini berarti bahwa
individu adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan-peranan yang
khsa didalam lingkungan sosialnya, meliankan juga mempunyai kepribadian serta
pola tingkah laku spesifik dirinya. Didalam suatu kerumunan massa manusia
cenderung menyingkirkan individualitasnya, karena tingkah laku yang
ditampilkannya hamper identik dengan tingkah laku masa.
Dalam perkembangannya setiap
individu mengalami dan dibebankan berbagai peranan, yang berasal dari kondisi
kebersamaan hidup dengan sesame manusia. Seringakli pula terdapat konflik dalam
diri individu, karena tingkah laku yang khas dirinya bertentangan dengan
peranan yang dituntut masyarakatnya. Namun setiap warga masyarakat yang namanya
individu wajar untuk menyesuaikan tingkah lakunya sebagai bagian dari perilaku
sosial masyarakatnya. Keberhasilan dalam menyesuaikan diri atau memerankan diri
sebagai individu dan sebagai warga bagian masyarakatnya memberikan konotasi
“maang” dalam arti sosial. Artinya individu tersebut telah dapat menemukan
kepribadiannya aatau dengan kata lain proses aktualisasi dirinya sebagai bagian
dari lingkungannya telah terbentuk.
Individu adalah seorang manusia yang
tidak hanya memiliki peranan khas di dalam lingkungan sosialnya,malainkan juga
mempunyai kepribadian serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Terdapat tiga
aspek yang melekat sebagai persepsi terhadap individu, yaitu aspek organik
jasmaniah, aspek psikis-rohaniah, dan aspek-sosial yang bila terjadi
kegoncangan pada suatu aspek akan membawa akibat pada aspek yang lainnya.
Individu dalam tingkah laku menurut pola pribadinya ada 3 kemungkinan: pertama
menyimpang dari norma kolektif kehilangan individualitasnya, kedua takluk
terhadap kolektif, dan ketiga memengaruhi masyarakat (Hartomo, 2004: 64).
Individu tidak akan jelas
identitasnya tanpa adanya suatu masyarakat yng menjadi latar belakang
keberadaanya. Individu berusaha mengambil jarak dan memproses dirinya untuk
membentuk perilakunya yang selaras dengan keadaan dan kebiasaan yang sesuai
dengan perilaku yang telah ada pada dirinya.
Manusia sebagai individu salalu
berada di tengah-tengah kelompok individu yang sekaligus mematangkannya untuk
menjadi pribadi yang prosesnya memerlukan lingkungan yang dapat membentuknya
pribadinya. Namun tidak semua lingkungan menjadi faktor pendukung pembentukan
pribadi tetapi ada kalanya menjadi penghambat proses pembentukan pribadi.
Individu sebagai manusia
perseorangan pada dasarnya dibentuk oleh tiga aspek yaitu aspek organis
jasmaniah, psikis rohaniah, dan sosial. Dalam perkembangannya menjadi
‘manusia’, sebagaimana diistilahkan oleh Dick Hartoko, individu tersebut
menjalani sejumlah bentuk sosialisasi. Sosialisasi inilah yang membantu
individu mengembangkan ketiga aspeknya tersebut.
2. Konsep
Masyarakat
Masyarakat adalah suatu kelompok
manusia yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang
sama-sama ditaati dalam lingkungannya. Tatanan kehidupan, norma-norma
yang mereka miliki itulah yang dapat menjadi dasar kehidupan sosial dalam
lingkungan mereka, sehingga dapat membentuk suatu kelompok manusia yang memiliki
ciri-ciri kehidupan yang khas.
Masyarakat adalah suatu istilah yang
kita kenal dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat kota, masyarakat desa,
masyarakat ilmiah, dan lain-lain. Dalam bahas Inggris dipakai istilah society
yang berasal dari kata latin socius, yang berarti “kawan” istilah masyarakat
itu sendiri berasal dari akar kata Arab yaitu Syaraka yang berarti “ ikut
serta, berpartisipasi”.
Koentjaraningrat dalam tulisannya
menyatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia atau kesatuan hidup
manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang
bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Dalam
psikologi sosial masyarakat dinyatakan sebagai sekelompok manusia dalam suatu
kebersamaan hidup dan dengan wawasan hidup yang bersifat kolektif, yang
menunjukkan keteraturan tingkah laku warganya guna memenuhi kebutuhan dan
kepentingan masing-masing. Kenyataan dilapangan,
suatu masyarakat bisa berupa suatu suku bangsa, bisa juga berlatar belakang
dari berbagai suku.
Masyarakat adalah sekumpulan
individu yang mengadakan kesepakatan bersama untuk secara bersama-sama
mengelola kehidupan. Terdapat berbagai alasan mengapa individu-individu
tersebut mengadakan kesepakatan untuk membentuk kehidupan bersama.
Alasan-alasan tersebut meliputi alasan biologis, psikologis, dan sosial.
Pembentukan kehidupan bersama itu sendiri melalui beberapa tahapan yaitu
interaksi, adaptasi, pengorganisasian tingkah laku, dan terbentuknya perasaan
kelompok. Setelah melewati tahapan tersebut, maka terbentuklah apa yang dinamakan
masyarakat yang bentuknya antara lain adalah masyarakat pemburu dan peramu,
peternak, holtikultura, petani, dan industri.
Di dalam tubuh masyarakat itu
sendiri terdapat unsur-unsur persekutuan sosial, pengendalian sosial, media
sosial, dan ukuran sosial. Pengendalian sosial di dalam masyarakat dilakukan
melalui beberapa cara yang pada dasarnya bertujuan untuk mengontrol tingkah
laku warga masyarakat agar tidak menyeleweng dari apa yang telah disepakati
bersama. Walupun demikian, tidak berarti bahwa apa yang telah disepakati
bersama tersebut tidak pernah berubah. Elemen-elemen di dalam tubuh masyarakat
selalu berubah di mana cakupannya bisa bersifat mikro maupun makro.
Apa yang menjadi kesepakatan bersama
warga masyarakat adalah kebudayaan, yang antara lain diartikan sebagai
pola-pola kehidupan di dalam komunitas. Kebudayaan di sini dimengerti sebagai
fenomena yang dapat diamati yang wujud kebudayaannya adalah sebagai suatu
sistem sosial yang terdiri dari serangkaian tindakan yang berpola yang bertujuan
untuk memenuhi keperluan hidup. Serangkaian tindakan berpola atau kebudayaan
dimiliki individu melalui proses belajar yang terdiri dari proses
internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan
suatu masyarakat, dapat digolongkan menjadi masyarakat sederhana dan masyarakat
maju (masyarakat modern):
a. Masyarakat sederhana
Dalam lingkungan masyarakat sederhana (primitif) pola
pembagian kerja cenderung dibedakan menurut jenis kelamin. Pembagian kerja
berdasarkan jenis kelamin, nampaknya berpngkal tolak dari kelemahan dan
kemampuan fisik antara seorang wanita dan pria dalam menghadapi tantangan alam
yang buaspada saat itu. Kaum pria melakukan pekerjaan yang berat-berat seperti
berburu, menangkap ikan di laut, menebang pohon, berladang dan berternak.
Sedangkan kaum wanita melakuakan pekerjaann yang ringan-ringan seperti mengurus
rumah tangga, menyusui dan mengasuh anak-anak ,merajut, membuat pakaian, dan
bercocok tanam.
b. Masyarakat Maju
Masyarakat maju memiliki aneka ragam kelompok sosial, atau
lebih dikenal dengan kelompok organisasi kemasyarakatan yang tumbuh dan
berkembang berdasarkan kebutuhan serta tujuan tertentu yang akan dicapai.
Organisasi kemasyarakatan tumbuh dan berkembang dalam lingkungan terbatas
sampai pada cakupan nasional, regional maupun internasional.
Adapun tujuan dan fungsi dari
masyarakat adalah sebagai berikut:
a. Tujuan Membangun Masyarakat
1) Untuk membangun rasa senasib dan
sepenanggungan di antara mereka, khususnya manusia Indonesia yang mewujudkan
rasa persatuan.
2) Agar tertanam rasa toleransi di
antara mereka, seorang hanya mempunyai arti bagaimana ia menjadi bagian dalam
kelompok.
3) Agar timbul kesadaran bahwa di
antara mereka terdapat saling ketergantungan yang berkaitan dengan kepedulian
sosial.
4) Salah satu keberartian seseorang
adanya nilai-nilai demokrasi yang tumbuh dan dimiliki sebagai sikap menghargai
perasan dan pendapat sesama yang pada gilirannya menciptakan suatu kesatuan
sosial.
b. Tujuan Masyarakat
Masyarakat
suatu tipe sistem sosial dapat dianalisis dari empat fungsinya yang diperlukan
yakni:
1)
Fungsi
pemeliharaan pola, Fungsi ini berkaitan dengan hubungan antara masyarakat
sebagai suatu sistem sosial dengan subsistem kultural. Fungsi ini
mempertahankan prinsip-prinsip tertinggi masyarakat sambil menyediakan dasar
dalam berprilaku menuju realitas yang tinggi.
2)
Fungsi
interaksi, Fungsi ini mencakup koordinasi yang diperlukan antara unit-unit yang
menjadi bagian dari suatu stem sosial. Khususnya yang berkaitang dengan
kontribusi unit-unit pada organisasi dan fungsinya unit-unit terhadap
keselurahan sistem.
3)
Fungsi
untuk tujuan/pencapaian tujuan, fungsi ini mengatur hubungan antar masyarakat
sebagai sistem sosial dengan subtansi kepribadian. Fungsi ini tercemin dalam
penyusunan skala prioritas dari segala tujuan yang hendak dicapai dan
menentukan bagaimana suatu sistem mobilitas sumber daya serta tenaga yang
bersedia untuk mencapai tujuan tersebut.
4)
Fungsi
adaptasi, menyangkut hubungan antara masyarakat dengan sistem sosial dengan
subsistem organisasi tindakan dengan alam psiko-organik Secara umum
fungsi ini menyangkut hubungan kemampuan masyarakat menyesuaikan diri terhadap
lingkungan hidup.
B. Masyarakat dan Kebudayaan
1. Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok individu
yang secara langsung atau tidak langsung saling berhubungan sehingga
merupakan sebuah satuan kehidupan yang berkaitan antara sesamanya dalam sebuah
satuan kehidupan yang dimana mempunyai kebudayaan tersendiri, berbeda dari
kebudayaan yang dipunyai oleh masyarakat lain. Sebagai satuan
kehidupan, sebuah masyarakat biasanya menempati sebuah wilayah yang
menjadi tempatnya hidup dan lestarinya masyarakat tersebut, karena
warga masyarakat tersebut hidup dan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada
dalam wilayah tempat mereka itu hidup untk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup
mereka sebagai manusia.
Maka terdapat semacam keterkaitan
hubungan antara sebuah masyarakat dengan wilayah tempat masyarakat itu hidup.
sebuah masyarakat merupakan sebuah struktur yang terdiri atas saling
berhubungan peranan-peranan dan para warga, peranan-peranan tersebut dijalankan
sesuai norma-norma yang berlaku. Saling berhubungan diantara peranan-peranan
ini mewujudkan struktur-struktur peranan yang biasanya terwujud sebagai
pranata-pranata. Untuk mewujudkan peranata-peranata itu dalam kehidupan manusia
bermasyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup sebagai manusia, yang
dianggap penting oleh masyarakat yang bersangkutan. Melalui pranata-pranata
yang ada, sebuah masyarakat dapat tetap lestari dan berkembang. Pranata-pranata
yang ada dalam masyarakat, antara lain, adalah pranata keluarga, pranata
ekonomi, pranata politik, pranata keagamaan, dsb.
Norma-norma yaitu norma yang mengatur
hubungan antara peranan-peranan, yang berisikan patokan-patokan etika dan moral
yang harus ditaati dan dilakukan oleh para pemegang peranan dalam hubungan
antara satu dengan lainnya dalam kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan.
Norma-norma yang berlaku dalam sebuah masyarakat mengacu pada kebudayaan yang
dipunyai oleh masyarakat tersebut.
2.
Kebudayaan
Profesor Koentjaraningrat mendefinisikan
kebudayaan sebagai wujud yang mencakup antara gagasan atau ide, kelakuan, dan
hasil kelakuan. Kebudayaan yang dikemukakan oleh Profesor Koenjaraningrat lebih
lanjut, dilihatnya dalam persepektif Taksonomik yaitu kebudayaan dilihat
dari unsur-unsur universal adalah masing-masing terdiri atas unsur yang lebih
kecil dan yang lebih kecil lagi, yang dinamakan sebagai trais dan items.
Dalam hal ini kebudayaan dilihat sebagai
sebuah satuan yang berdiri terlepas dari keberadaan pelakunya ataupun
terealisasi dari fungsi dalam struktur kehidupan manusia. Dalam upaya memahami
hubungan antara individu, masyarakat, dan kebudayaan. dan dalam upaya memahami
fungsi kebudayaan dalam struktur kehidupan manusia, definisi profesor
koenjaraningrat sebetulnya tidak relevan.
Dengan mangacu pada karya-karya
Malinowski (1961, 1944) mengenai kebutuhan-kebutuhan manusia dan pemenuhannya
melalui fungsi dan pola-pola kebudayaan, dan dengan mengacu pada karya
Kluckhohn (1994) yang melihat kebudayaan sebagai blueprint bagi kehidupan manusia, serta dari Geerts
(1973) yang melihat kebudayaan sebagai sistem-sistem makna, saya melihat
kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia yang secara bersama dimilik
oleh para warga sebuah masyarakat.’ Atau dengan kata lain kebudayaan adalah sebuah
pedoman menyeluruh bagi kehidupan sebuah masyarakat dan para warganya.
Dalam perspektif ini kebudayaan dilihat
sebagai terdiri atas konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode yang
diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat yang menjadi pemiliknya. Kebudayaan
dengan demikian merupakan sistem-sistem acuan yang ada pada berbagai tingkat
pengetahuan dan kesadaran, dan bukan pada tingkat gejala yaitu pada tingkat
kelakuan atau hasil kelakuan sebagaimana didefinisikan oleh Profesor
koenjaraningrat.
Sebagai sistem-sistem acuan,
konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode digunakan secara selektif sebagai
acuan oleh para pemilik kebudayaan dalam menghadapi lingkungannya, yaitu
digunakan untuk menginterpretasikan dan manfaatka lingkungan bserta isinya bagi
pemenuhan-pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya sebagai manusia.
Pemilhan secara selektif dilakukan
secara pertimbangan oleh pelaku mengenai konsep atau metode atau teori yang
mana yang paling cocok atau yang tebaik yang dapat digunakan sebagai interpretasi
sebagai acuan interpretasi mewujudkan tindakan-tindakan. Tindakan-tindakan
tersebut dapat dilihat sebagai dorongan-dorongan atau motivasi dari dalam diri
pelaku bagi pemenuhan kebtuhan maupun sebagai tanggapan-tanggapan (responses) pelaku atas rangsangan-rangsangan
(stimulasi) yang berasal
dari lingkungannya.
Keberadaan kebudayaan dalam kehidupan
manusia adalah fungsional dalam struktur-struktur kegiatan untuk pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan hidup sebagai manusia. Yaitu sebagai kategori-kategori atau
golongan-golongan yang ada di dalam lingkungannya. Yaitu kategori yang dapat
dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya sebagai manusia.
Kebutuhan-kebutuhan hidup yang harus dipenuhi manusia agar dapat hidup sebagai
manusia mencakup tiga kategori. Ketiga kategori kebutuhan tersebut harus
dipenuhi secara bersama-sama dan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut di
integrasi oleh kebutuhan adab, yang menjadikan pemenuhan kebutuhan hidup
tersebut sebagai tindakan-tindakan yang penuh adab, etika, dan moral. Adapun
kebutuhan-kebutuhan hidup manusia adalah sebagai berikut:
1.
Kebutuhan biologi atau primer (makan,
minum, menghirup oksigen, buang air besar/kecil, istirahat, tidur seksual, dan
sebagainya).
2.
Kebutuhan sosial atau sekunder
(berkomunikasi dengan sesama, pendidikan, kontrol sosial, pamer, dan
sebagainya).
3.
Kebutuhan adab atau kemanusiaan, yaitu
kebutuhan-kebutuhan yang mengintegrasikan berbagai kebutuhan yang tercakup
dalam kebutuhan biologi dan sosial. Kebutuhan adab atau kemanusiaan ini muncul
dan terpancar dari hakekat manusia sebagai mahluk tuhan yang tertinggi
derajatnya, yang mmpunyai kemampuan berfikir, bermoral, sehingga
pemenuhan-pemenuhan kebutuhan hidup manusia itu bercorak manusiawi bukan
hewani.
Adapun
kebutuhan-kebutuhan adab mencakup:
1.
Kebutuhan
untuk dapat membedakan yang benar dari yang salah,
yang adil dari yang tidak adil, yang suci dari yang kotor, yang berpahala
dari yang berdosa.
2.
Kebutuhan untuk mengungkapkan
perasaan-perasaan dan sentimen-sentimen perorangan atau kolektif atau kebersamaan.
3.
Kebutuhan untuk menunjukkan jati diri
dan keberadaan serta asal muasalnya, dan kebutuhan untuk mempunyai keyakinan
serta kehormatan diri.
4.
Kebutuhan untuk dapat menyampaikan
ungkapan-ungkapan estetika, etika, dan moral.
5.
Kebutuhan rekreasi dan hiburan.
6.
Kebutuhan akan rasa aman, tentram, dan
adanya keteraturan dalam kehidupan.
Pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan hidup manusia selalu dilakukan melalui pranata-pranata
(Suparlan 1998, 1986). Setiap pranata yaitu sebuah sistem antar hubungan
norma-norma dan peranan-peranan untuk pemenuhan kebutuhan yang dianggap penting
oleh masyarakat yang bersangkutan, menyajikan seperangkat pedoman untuk
bertindak sesuai dengan corak pranatanya. Kegiatan-kegiatan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan melalui pranata-pranata biasanya terpola dan berlangsung
secara berulang dari waktu kewaktu. Dalam proses-proses tersebut maka
tradisi-tradisi berkenaan dengan sesuatu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan untuk
hidup itu menjadi baku.
C.
Pelapisan Masyarakat
Pelapisan masyarakat di kehidupan bermasyarakat dinamakan
stratifikasi. Istilah ini didapat dari kata STRATA atau STRATUM yang berarti
LAPISAN. Sejumlah individu yang mempunyai kedudukan yang sama menurut ukuran
masyarakatnya dikatakan berada dalam suatu lapisan atau stratum.
Menurut Pitrim A.sorokin, pelapisan masyarakat adalah
perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara
bertingkat/hieraki. Sedangkan menurut Theodorson didalam dictionary sociology
menyatakan, pelapisan masyarakat berarti jenjang status dan peranan yang
relatif permanen yang terdapat dalam sistem sosial (dari kelompok kecil sampai
masyarakat ) dalam hal pembedaan hak, pengaruh dan kekuasaan.
Sekarang ini, pembagian dan pemberian kedudukan menurut
jenis kelamin mungkin menjadi dasar dari seluruh sistem masyarakat kuno, sebagai
contohnya, wanita di Bali lebih keras usahanya dalam mencari nafkah dibanding
pria. Tidak hanya disitu saja dalam kepempinan ketua suku memiliki hak yang
sangat luas dan mendominasi. Sering terjadi pengucilan terhadap seseorang yang
berkasta rendah dan sebagainya. Kalian pasti bertanya-tanya bukan, kenapa
pelapisan masyarakat ini bisa terjadi. Banyak sekali penyebabnya, antara lain:
1.
Terjadi
dengan sendirinya, Proses ini berjalan sesuai dengan pertumbuhan masyarakat itu
sendiri. Adapun orang-orang yang menduduki lapisan tertentu dibentuk bukan atas
kesengajaan yang disusun sebelumnya oleh masyarakat itu. Tetapi berjalan secara
alamiah dengan sendirinya. Pengakuan-pengakuan terhadap kekuasaan dan wewenang
tumbuh dengan sendirinya. Oleh karena sifatnya yang tanpa disengaja inilah maka
bentuk lapisan dan dasar dari pelapisan itu bervariasi menurut tempat, waktu
dan kebudayaan masyarakat dimana sistem itu berlaku.
2.
Terjadi
dengan disengaja, Sistem pelapisan yang disusun dengan sengaja ditujukan untuk
mengejar tujuan bersama. Di dalam sistem pelapisan ini ditentukan secara jelas
dan tegas adanya wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepada seseorang. Dengan
adanya pembagian yang jelas dalam hal wewenang dan kekuasaan ini maka di dalam
organisasi ini terdapat keteraturan sehingga jelas bagi setiap orang di tempat
mana letaknya kekuasaan dan wewenang yang dimiliki dan dalam suatu organisasi
baik secara vertical maupun secara horizontal.
Ada
2 jenis pelapisan masyarakat, yaitu tertutup dan terbuka:
1.
Sistem
pelapisan masyarakat yang tertutup, di dalam sistem ini perpindahan anggota
masyarakat ke lapisan lain baik keatas Maupun ke bawah tidak mungkin terjadi,
kecuali ada hal-hal yang istimewa, di dalam sistem yang demikian itu satu-satunya
jalan untuk dapat masuk menjadi anggota dari suatu lapisan dalam masyarakat
adalah karena kelahiran, sistem pelapisan tertutup kita temui misalnya di India
yang masyarakatnya mengenal sistem kasta. Sebagaimana kita ketahui masyarakat
terbagi ke dalam:
a. Kasta Brahmana: yang merupakan
kastanya golongan-golongan pendeta dan Merupakan kasta tertinggi,
b. Kasta Ksatria: merupakan kasta dari
golongan bangsawan dan tentara yang dipandang sebagai lapisan kedua,
c. Kasta Waisya: merupakan kasta dari
golongan pedagang yang dipandang Sebagai lapisan menengah ketiga,
d. Kasta Sudra: merupakan kasta dari
golongan rakyat jelata,
e. Paria :adalah golongan dari mereka
yang tidak mempunyai kasta. Yang termasuk golongan ini misalnya kaum Gepeng
dsb.
2.
Sistem
pelapisan masyarakat terbuka, di dalam sistem yang demikian ini setiap anggota
masyarakat memiliki kesempatan untuk jatuh ke lapisan yang ada di bawahnya atau
naiknya ke lapisan yang di atasnya, sistem yang demikian ini dapat kita temukan
misalnya di dalam masyarakat di Indonesia sekarang ini, setiap orang diberi
kesempatan untuk menduduki segala jabatan bila ada kesempatan dan kemampuan
untuk itu, tetapi disamping itu orang juga dapat turun dari jabatannya bila dia
tidak mampu mempertahankannya, status (kedudukan) yang diperoleh berdasarkan
atas usaha sendiri disebut “Achieve status”, dalam hubungannya dengan
pembangunan masyarakat, sistem pelapisan masyarakat yang terbuka sangat
menguntungkan, sebab setiap warga masyarakat diberi kesempatan untuk bersaing
dengan yang lain, dengan demikian orang berusaha untuk mengembangkan segala
kecakapannya agar dapat meraih kedudukan yang dicita-citakan, demikian
sebaliknya bagi mereka yang tidak bermutu akan semakin didesak oleh mereka yang
cakap, sehingga yang bersangkutan bisa jatuh ke tangga sosial yang lebih
rendah.
Orang
dengan status sosial yang tinggi cenderung lebih dihormati dari pada yang
mempunyai status sosial rendah. Hal ini tentunya dapat menimbulkan deskriminasi
sosial di dalam masyarakat. Contohnya pada suatu acara di balai warga, orang
yang mempunyai kedudukan tinggi atau mempunyai status ekonomi yang baik akan di
utamakan dan diberi tempat khusus pada perhelatan tersebut, sedangkan orang
dengan status sosial yang masih rendah umumnya mendapat tempat di belakang
padahal sudah menganti lebih awal. Atau pada rapat warga, yang diundang untuk
menghadiri rapat hanyalah warga dengan status sosial yang tinggi tanpa mau
mendengarkan pendapat dari warga lainya. Hal ini lambat laun dapat menimbulkan
kecemburuan sosial di masyarakat dan dapat menimbulkan ketidakharmonisan antar
warga. Untuk menghindari terjadinya kecemburuan sosial akibat adanya pelapisan
sosial ini, hendaknya orang dengan status sosial yang lebih tinggi dapat “Duduk
sama rendah, Berdiri sama tinggi” dan saling merangkul satu sama lain dengan
warga yang memiliki status sosial yang rendah agar terjadi keharmonisan di
dalam bermasyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Individu adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki
peranan-peranan yang khsa didalam lingkungan sosialnya, meliankan juga
mempunyai kepribadian serta pola tingkah laku spesifik dirinya.
Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang telah memiliki
tatanan kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang sama-sama ditaati dalam
lingkungannya. Tatanan kehidupan, norma-norma yang mereka miliki itulah
yang dapat menjadi dasar kehidupan sosial dalam lingkungan mereka, sehingga
dapat membentuk suatu kelompok manusia yang memiliki ciri-ciri kehidupan yang
khas.
Masyarakat
adalah sekelompok individu yang secara langsung atau tidak langsung saling
berhubungan sehingga merupakan sebuah satuan kehidupan yang berkaitan
antara sesamanya dalam sebuah satuan kehidupan yang dimana mempunyai kebudayaan
tersendiri, berbeda dari kebudayaan yang dipunyai oleh masyarakat
lain.
Profesor
Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai wujud yang mencakup antara
gagasan atau ide, kelakuan, dan hasil kelakuan.
Menurut Pitrim A.sorokin, pelapisan masyarakat adalah
perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara
bertingkat/hieraki. Sedangkan menurut Theodorson didalam dictionary sociology
menyatakan, pelapisan masyarakat berarti jenjang status dan peranan yang
relatif permanen yang terdapat dalam sistem sosial (dari kelompok kecil sampai
masyarakat ) dalam hal pembedaan hak, pengaruh dan kekuasaan.
B.
Saran
Manusia sebagai makhluk sosial hendaklah hidup secara
berdampingan dan saling menghargai satu sama lain, dan tidak memandang Suku,
Ras, Budaya, dan kedudukan. Dengan terciptanya kehidupan yang saling menghargai
satu sama lain maka akan terbangun suatu kehidupan yang damai dan tentram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar